Pantas Kerap Rugi, Ternyata 80 Persen Petani Tak Hitung Biaya Ini
Murianews
Rabu, 25 September 2024 19:15:00
Murianews, Kudus – Sekitar 80 persen petani di Indonesia ternyata hanya menghitung biaya yang benar-benar dikeluarkan atau eksplisit dalam hitung-hitungan untung rugi mereka.
Padahal, ada biaya tersembunyi atau implisit yang perlu juga dihitung dalam menentukan untung rugi hasil pertaniannya.
Itu dikemukakan Kaprodi Agrobisnis Universitas Muria Kudus (UMK), Muhamad Imanuddin, Selasa (24/9/2024).
Menurutnya, itu dikarenakan sebagian petani menganggap menghitung biaya implisit terlalu susah. Mereka hanya ingin menggunakan cara yang cepat dan simple.
Meski begitu, perhitungan implisit sudah kerap dipakai petani pemilik lahan yang lahannya dikelola orang lainnya.
’’80 persen petani belum menggunakan perhitungan implisit kecuali kalau itu petani pemilik lahan, yang usaha taninya di serahkan ke orang lain kemungkinan menghitung. petani merasa ribet, karena mindset petani itu pengen cepat dan simple. Sudah capek malahan disuruh menghitung,’’ ujar Iman.
Biaya eksplisit yang dimaksud yakni, biaya tetap, seperti membeli pupuk, pestisida, atau BBM untuk traktor maupun mesin untuk memanen.
Sedangkan biaya implisit yang dimaksud Iman, salah satunya yakni biaya tenaganya sendiri. Ketika petani tak menghitung biaya tenaganya sendiri, maka petani sebenarnya telah merugi.
’’Kalau hanya menghitung biaya tetap dan tidak menghitung biaya implisit, petani itu rugi. Karena dia tidak menghitung biaya tenaganya,’’ Kata Iman.
Iman menyebut, petani yang menggarap lahannya sendiri cenderung hanya melakukan perhitungan eksplisitnya saja dan tidak menggunakan perhitungan implisitnya.
’’Jadi, petani cuman menghitung pembelian bibit, pupuk, traktor, biaya tenaga kerja tandur, terus biaya panen. Tapi dia juga lupa proses nyemai, kalau misalnya dia sendiri itu tidak dihitung HKO-nya (hari kerja orang) berapa itu masuknya biaya implisit,’’ ujarnya.
Bahkan, petani kadang sering berselisih hanya karena berebut air. Namun, mereka tidak menghitung biaya pengairannya. Kemudian, biaya memeriksa sawah, memantau adanya hama atau perawatan juga tak dihitung.
’’Petani itu kan kadang-kadang adu kekuatan, gontok-gontokan antarpetani, karena rebutan air, nah itu mereka tidak dihitung untuk pengairannya. Biaya dia mengecek sawah, sesimplenya dia ngambilin keong itu kan biaya perawatan sebenernya, ngambilin hama keong, itu kan dia sendiri enggak dihitung biasanya,’’ ucap Iman.
Iman berharap banyak petani muda yang mengerti dalam bidang pencatatan ini agar ketika terdapat penyuluh atau peneliti datang akan lebih memudahkan dalam penelitian.
Ia berharap banyak petani muda yang mengerti di bidang pencatatan. Sebab, kelemahan petani kebanyakan di pencatatan.
Jadi minimal mengetahui pemupukannya satu kali siklus berapa, jenis pupuknya apa, harga belinya berapa. Jadi ketika datang peneliti, nanti si peneliti tidak dibigungkan dengan variasi yang ada di daerah tesebut.
Penulis: Aqilah Latujtaba (Mahasiswa Magang UMK)
Editor: Zulkifli Fahmi



