Bisnis Mal di Kudus Mulai Lesu, Benarkah?
Vega Ma'arijil Ula
Kamis, 24 Agustus 2023 13:34:00
Murianews, Kudus – Bisnis mal di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah dinilai mulai lesu. Berbagai faktor membuat mal tak lagi ramai disambangi pengunjung.
Eko Sepriyanto, Supervisor mal Ramayana Kudus mengatakan, semenjak selesainya momen back to school (kembali ke sekolah, red) pada Juli 2023 lalu, mal Ramayana Kudus tidak lagi ramai.
Padahal saat musim persiapan ke sekolah pada Juli lalu banyak konsumen berbelanja kebutuhan sekolah seperti seragam, tas, sepatu, dan lainnya.
”Sekarang back to school-nya sudah lewat, mal jadi sepi lagi,” katanya, Kamis (24/8/2023).
Dirinya tidak tahu secara pasti penyebab lesunya mal di era saat ini. Dia menerka masyarakat setelah menggunakan uangnya untuk kebutuhan sekolah cenderung memilih untuk berhemat.
”Saya menebaknya saat persiapan back to school itu kan masyarakat sudah berbelanja kebutuhan sekolah. Mungkin sekarang mereka mulai berhemat,” sambungnya.
Dia juga menilai masyarakat mengutamakan berbelanja kebutuhan pokok seperti sembako. Sehingga menunda dahulu kebutuhan sekunder yang kurang dibutuhkan.
Meski demikian, mal tak benar-benar sepi sepanjang pekan. Di saat weekday seperti Senin hingga Kamis menurut Eko ada sekitar 300 sampai 400 transaksi per hari yang berlangsung.
”Kalau weekend hari Jumat sampai Minggu bisa sampai 800 transaksi per hari. Memang hanya bisa berharap di saat weekend saja,” terangnya.
Sementara dosen ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Kudus Nor Hadi menilai, lesunya bisnis mal di Kabupaten Kudus tidak lepas dari kondisi keuangan masyarakat Kota Kretek. Dia menilai pendapatan per kapita masyarakat Kota Kretek saat ini menurun.
”Secara riil kondisi masyarakat Kudus saat ini pendapatannya sedang menurun. Ditambah dengan sulitnya mencari pekerjaan,” katanya, Kamis (24/8/2023).
Lebih lanjut, faktor lainnya yang menyebabkan lesunya mal karena naiknya kebutuhan pokok. Sehingga masyarakat lebih mengutamakan membeli kebutuhan pokok dibandingkan dengan kebutuhan sekunder seperti fashion.
”Apalagi kenaikan kebutuhan pokok yang tidak diimbangi dengan naiknya upah. Sehingga berakibat dengan kemampuan belanja masyarakat,” imbuhnya.
Editor: Ali Muntoha
Murianews, Kudus – Bisnis mal di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah dinilai mulai lesu. Berbagai faktor membuat mal tak lagi ramai disambangi pengunjung.
Eko Sepriyanto, Supervisor mal Ramayana Kudus mengatakan, semenjak selesainya momen back to school (kembali ke sekolah, red) pada Juli 2023 lalu, mal Ramayana Kudus tidak lagi ramai.
Padahal saat musim persiapan ke sekolah pada Juli lalu banyak konsumen berbelanja kebutuhan sekolah seperti seragam, tas, sepatu, dan lainnya.
”Sekarang back to school-nya sudah lewat, mal jadi sepi lagi,” katanya, Kamis (24/8/2023).
Dirinya tidak tahu secara pasti penyebab lesunya mal di era saat ini. Dia menerka masyarakat setelah menggunakan uangnya untuk kebutuhan sekolah cenderung memilih untuk berhemat.
”Saya menebaknya saat persiapan back to school itu kan masyarakat sudah berbelanja kebutuhan sekolah. Mungkin sekarang mereka mulai berhemat,” sambungnya.
Dia juga menilai masyarakat mengutamakan berbelanja kebutuhan pokok seperti sembako. Sehingga menunda dahulu kebutuhan sekunder yang kurang dibutuhkan.
Meski demikian, mal tak benar-benar sepi sepanjang pekan. Di saat weekday seperti Senin hingga Kamis menurut Eko ada sekitar 300 sampai 400 transaksi per hari yang berlangsung.
”Kalau weekend hari Jumat sampai Minggu bisa sampai 800 transaksi per hari. Memang hanya bisa berharap di saat weekend saja,” terangnya.
Sementara dosen ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Kudus Nor Hadi menilai, lesunya bisnis mal di Kabupaten Kudus tidak lepas dari kondisi keuangan masyarakat Kota Kretek. Dia menilai pendapatan per kapita masyarakat Kota Kretek saat ini menurun.
”Secara riil kondisi masyarakat Kudus saat ini pendapatannya sedang menurun. Ditambah dengan sulitnya mencari pekerjaan,” katanya, Kamis (24/8/2023).
Lebih lanjut, faktor lainnya yang menyebabkan lesunya mal karena naiknya kebutuhan pokok. Sehingga masyarakat lebih mengutamakan membeli kebutuhan pokok dibandingkan dengan kebutuhan sekunder seperti fashion.
”Apalagi kenaikan kebutuhan pokok yang tidak diimbangi dengan naiknya upah. Sehingga berakibat dengan kemampuan belanja masyarakat,” imbuhnya.
Editor: Ali Muntoha