Di tengah arus modernisasi dan gempuran produk plastik, kerajinan tangan yang diwariskan turun-temurun ini tetap menjadi denyut kehidupan masyarakat setempat. Bahkan menjadi penopang ekonomi keluarga.
Warga desa memanfaatkan bambu yang tumbuh subur, untuk diolah menjadi berbagai perabotan rumah tangga klasik seperti tampah, besek, tampir, dunak, hingga tudung saji.
”Sangat berpotensi, tapi dari dulu sampai sekarang masih belum bisa maju, penyebabnya para perajin masih individual, artinya masih dilakukan pada perorangan tiap rumah, belum terbentuk kelompok penganyam. Tetapi mereka juga saling berinteraksi jika ada pesanan dalam jumlah banyak,” ungkapnya, Jumat (26/9/2025).
Faktor lain yang menghambat kemajuan adalah sifat pekerjaan menganyam yang hanya menjadi mata pencaharian sampingan atau pengisi waktu luang usai bertani.
Selain itu, regenerasi menjadi isu krusial karena sebagian besar perajin saat ini sudah berusia tua, sementara generasi muda dinilai kurang berminat untuk mempelajari keterampilan ini.
”Sejak masih perawan (remaja) saya sudah bisa membuat dunak. Sampai sekarang juga masih,” ujarnya mengawali pembicaraan.
Murianews, Blora – Desa Sumurboto, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Jawa Tengah hingga saat ini masih terus melestarikan produk anyaman bambu. Bahkan julukan sebagai sentra anyaman bambu, masih sangat relevan.
Di tengah arus modernisasi dan gempuran produk plastik, kerajinan tangan yang diwariskan turun-temurun ini tetap menjadi denyut kehidupan masyarakat setempat. Bahkan menjadi penopang ekonomi keluarga.
Warga desa memanfaatkan bambu yang tumbuh subur, untuk diolah menjadi berbagai perabotan rumah tangga klasik seperti tampah, besek, tampir, dunak, hingga tudung saji.
Meski kerajinan bambu sangat melekat, terutama bagi kaum perempuan di Sumurboto, Kepala Desa Suprapti mengakui ada tantangan besar yang dihadapi sentra ini.
”Sangat berpotensi, tapi dari dulu sampai sekarang masih belum bisa maju, penyebabnya para perajin masih individual, artinya masih dilakukan pada perorangan tiap rumah, belum terbentuk kelompok penganyam. Tetapi mereka juga saling berinteraksi jika ada pesanan dalam jumlah banyak,” ungkapnya, Jumat (26/9/2025).
Faktor lain yang menghambat kemajuan adalah sifat pekerjaan menganyam yang hanya menjadi mata pencaharian sampingan atau pengisi waktu luang usai bertani.
Selain itu, regenerasi menjadi isu krusial karena sebagian besar perajin saat ini sudah berusia tua, sementara generasi muda dinilai kurang berminat untuk mempelajari keterampilan ini.
Semangat tradisi ini terlihat pada sosok Nasri (66), yang telah membuat anyaman sejak remaja, meneruskan keterampilan dari nenek moyangnya.
”Sejak masih perawan (remaja) saya sudah bisa membuat dunak. Sampai sekarang juga masih,” ujarnya mengawali pembicaraan.
Turun-temurun...
Nasri mengaku keterampilan mengayam bambu itu didapat dari nenek buyutnya. Sama seperti dia, orang tuanya dulunya juga perajin anyaman bambu.
”Sudah turun temurun seperti ini,” ungkapnya.
Nasri dan perajin lain, seperti Resmi (57), menjual hasil anyaman mereka, baik berdasarkan pesanan maupun menjualnya di pasar tradisional, seperti Pasar Kunduran.
Mereka mengakui persaingan dari produk pabrikan, namun belakangan produk anyaman bambu kembali banyak diminati seiring tren gaya hidup berkelanjutan dan keinginan warga untuk menggunakan produk alami.
Harga yang ditawarkan pun tergolong terjangkau, berkisar antara Rp 7.500 hingga Rp 15.000 per buah.
Untuk menjaga tradisi, Pemerintah Desa bersama pihak terkait mulai berupaya memotivasi anak muda dengan memberikan pelatihan keterampilan khusus kepada siswa SD di wilayah setempat.
Harapannya, sentra kerajinan anyaman bambu Sumurboto dapat berkembang menjadi salah satu ikon unggulan Blora.
Editor: Cholis Anwar